Article - Internal
Leticia Paramita 'Memoles' Ilmu Batu Permata
Date : 23-06-2008

Bisa menuangkan ide-ide segar pada profesi yang tergolong langka ini membuat wanita ini makin kepincut pada duina batu permata.

Tak kenal maka tak sayang, begitulah kiasan yang cocok menggambarkan perkenalan Leticia Paramita (30) pada dunia batu permata. Meski Mahardi Paramita (64), ayahnya, seorang gemolog (ahli batu permata) yang senang berbagi ilmu lewat mengajar ten- tang batu permata, wanita yang akrab disapa Letis ini justru lebih menikmati dunia marketing dan komunikasi. Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan ini acuh tak acuh saat ayah dan kakaknya, Sumarni - juga berprofesi sebagai gemolog - mengajaknya terjun ke dunia ini.

Tapi, siapa sangka, ketika akhirnya terpaksa membantu sang ayah yang makin tua, Letis justru kian lengket dengan dunia barunya, yaitu mengajar tentang batu permata. Kini, muridnya tersebar di beberapa kota, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Riau.

TERTARIK JADI DETEKTIF PERMATA

Jalan hidup Letis berbalik 180 derajat, ketika diminta menggantikan peran ayahnya sebagai pengajar di Adamas Gemological Laboratory (AGL) (laboratorium gemologi independen) dan Institut Gemology Paramita (IGP) (lembaga pendidikan batu permata) yang keduanya dirintis oleh Mahardi. Maklum, usia ayahnya ketika itu sudah menginjak angka 60. Sebetulnya, kakak Letis, Sumarni, dan adiknya, Delfina juga seorang gemolog, tapi mereka lebih berkutat di laboratorium meneliti batu permata ketimbang mengajar di depan kelas.

"Awalnya saya hanya ingin membantu Ayah yang terlihat masih begitu bersemangat mengajar seluk-beluk batu permata. Saking inginnya menurunkan ilmu gemologi, bisa-bisanya Ayah memilih untuk berkonsentrasi di laboratorium dan mengajar," cerita Letis. "Ayah saya lebih tertarik mensosialisasikan berbagi ilmu batu permata agar publik tidak tertipu oleh penjual perhiasan nakal," lanjutnya bangga terhadap usaha ayahnya mendirikan AGL, laboratorium permata pertama di Indonesia.

Melihat program pendidikan IGP yang dirasanya monoton, wanita kelahiran 12 Januari 1978 ini termotivasi untuk mengenal lebih dalam dunia batu permata. Tentu saja keinginannya itu didukung ayahnya. Ia lalu menuntut ilmu di Gemological Institute of America (GIA), Bangkok, Thailand. Ia belajar mengenal dan mendesain perhiasan mulai dari Colored Stone, Berlian, sampai Mutiara selama 8 bulan.

Indahnya warna bebatuan serta kegiatan berbagai tes yang harus dilakukan untuk menentukan jenis batu yang tepat untuk membentuk perhiasan, belakangan membuat istri dari Eddy Karmana ini merasa hari-harinya begitu dinamis. "Seru banget, karena untuk mencapai kesimpulan jenis batu yang tepat harus melalui berbagai macam tes. Ibaratnya saya seperti detektif," tutur Letis, yang mengaku paling tertarik pada Colored Stone daripada Berlian atau Mutiara.

Mata Letis yang semula tertutup dan menganggap profesi gemolog tak populer dan prospek kariernya kurang menjanjikan pun akhirnya terbuka setelah mengikuti pendidikan di GIA."Ternyata, seorang gemolog tak hanya 'tua' di laboratorium atau di toko. Ia bisa menjadi desainer, trainer, atau analis gemologi. Ini prospek yang cukup menjanjikan di masa depan, apalagi profesi ini masih langka di Indonesia," ujarnya.


  Leticia Paramita

Leticia Paramita bersama contoh - contoh batu permata untuk kursus "Introduction Of Colorstone"

DIHARGAI MURAH

Sepulang dari Bangkok, Letis mengajar di IGP (2004). Dengan bekal kemampuan berkomunikasi dan tak pernah merasa kikuk di depan banyak orang yang diasahnya selama menjadi marketing di bank swasta, Letis yakin ia pun bisa menjadi pengajar menyenangkan. Namun, sebelumnya ia merasa perlu membenahi pendidikan di IGP dulu. Bila selama 15 tahun ayahnya hanya berkonsentrasi di kelas berlian dan colored stone, maka Letis memberi inovasi baru dengan membuka kelas gemologi dasar, mutiara, desain perhiasan, sampai memberi kursus pendek khusus batu delima, safir, hingga zamrud.

"Saya melihat kebutuhan dan minat setiap orang mempelajari batu permata itu berbeda-beda. Sebagai penyelenggara jasa pendidikan, sudah sepatutnya kami beradaptasi dengan kebutuhan murid," ujar wanita yang akhirnya mendesain kelas-kelas baru di institut tersebut.

Bersama ayahnya, Letis bahu-membahu mengajar semua kelas di IGP. "Mengajarnya lumayan serabutan, karena gurunya cuma dua, saya dan Ayah. Usia murid juga bervariasi, dari usia belasan tahun sampai mereka yang sudah punya cicit," kata Letis.


Fasilitas di IGP tergolong lengkap. Selain text book, Letis dan ayahnya menyiapkan berbagai contoh batu permata dan berlian untuk latihan praktik. Alat-alat praktik yang dipergunakan selama kursus pun tidak sembarangan. Mulai dari mikroskop, refkraktometer (alat pengukur indeks bias batu), leveridge (alat pengukur dimensi batu), sampai dichroscope (alat melihat sifat batu), tersedia.

Namun, sebagai pengajar, wanita yang pernah menjadi finalis Jewelry Design International Korea ini mengakui dirinya terkadang down. Lantaran, keahliannya terkadang kurang mendapat apresiasi publik. "Sering kali mereka yang tertarik ikut kelas di IGP, menawar harga kelas 'seenak perutnya'," katanya.

Sebagai solusi, Letis menawarkan mereka mengikuti seminar yang menampilkan sang ayah atau dirinya sebagai pembicara. Selain bi¬aya seminar terjangkau, toh mereka yang bertujuan sekadar membeli dan memilih perhiasan akan terpuaskan. Untuk mereka yang ingin mengetahui detail asahan batu, warna, kejernihan, karat, sampai harga pasar internasional, menurut Letis, perlu masuk kelasnya sehingga mendapatkan ilmu yang lebih detail.

Selain kurang diapresiasi, tantangan lain yang dirasakan wanita yang berprofesi sebagai desainer perhiasan di Lc Jewelry Design ini adalah ilmu batu permata dianggap profesi yang kurang penting. Tapi, Letis yakin, profesi gemolog akan makin berkembang."Buktinya, meski promosinya hanya lewat website, banyak peminat dari berbagai daerah. Malah, ada yang sampai kos beberapa minggu demi menuntut ilmu di sini. Institut kami satu-satunya sekolah yang mengajarkan ilmu gemologi di Indonesia" ujarnya berpromosi.


  Gemologist AGL

Gemologist Adamas Gemology Laboratory sedang memeriksa batu permata

BERLIAN KELAS PALING RAMAI

Kelas apa, sih, yang paling banyak peminatnya? Dengan yakin, Letis menjawab: diamond grading. Kelas yang diadakan 10 kali dengan durasi waktu tiga jam tiap sesi untuk menilai faktor 4 C's (clarity, color, cut, dan carat) dari berlian, memang kelas tersibuk. "Delapan orang satu kelas dipenuhi murid wanita. Makanya, kelasnya selalu paling heboh, ha…ha…ha… Berlian memang tak pernah pupus kepopulerannya. Mungkin, karena harganya yang mahal dan simbol cinta abadi," kata wanita yang sedang mengandung ini, tersenyum.

  Kelas praktek di IGP

Para peserta kelas "Diamond Grading" sedang
melakukan praktek
Kelas yang agak sepi adalah kelas desain perhiasan dan basic jewelry making. Penyebab dua kelas ini kurang peminatnya adalah banyaknya pekerjaan rumah dan tugas praktik. "Kami ingin lulusan institut kami keluar tak hanya memiliki sertifikat. Dia juga harus punya skill yang membuatnya bersinar," ujarnya, serius. Hebatnya, meski pendaftar kelas ini hanya dua orang setiap kelas baru dapat terselenggara, Letis tetap semangat mengajar. "Kegiatan mentransfer ilmu itu ternyata menyenangkan," ujar dosen tamu pada mata kuliah Beautiful Gemstones di Universitas Pelita Harapan ini.

Letis mengibaratkan para muridnya bagaikan pelangi, karena motivasi dan usianya yang beragam. Ada yang memang benar-benar tertarik, ada yang iseng mengisi waktu liburan, ada juga yang terpaksa mengikuti karena dipaksa orang tua yang juga bergerak di bisnis batu permata. "Paling repot mengajar mereka yang berat hati masuk kelas. Untuk bisa membangkitkan minatnya dan membuat mereka berprestasi di kelas, butuh seni tersendiri. Sulit, sih.Tapi, kalau berhasil membuatnya tertarik, memberi kebanggaan tersendiri."

Agar para muridnya tak bosan dan gampang menangkap pelajaran, Letis dan ayahnya mendesain kelas menjadi 80% praktik dan 20% teori. Dalam memberi pelajaran, terkadang murid yang sudah berumur di atas 40 tahun lebih menyukai bertanya pada ayahnya. Usianya terbilang muda sebagai gemolog, membuatnya dianggap sebagai anak bawang. Namun, Letis mencoba untuk bersabar. Ketidakpercayaan itu justru memacunya untuk lebih giat lagi menimba ilmu.

Untuk urusan menimba ilmu, Letis tak main-main. Selain rajin ikut konferensi batu permata di berbagai negara, seperti Cina dan Bangkok, Letis juga beberapa kali ikut pendidikan workshop advance gemology. Seperti GIA Diamond Cut Grading System for Round Brilliant Diamonds, di Hong Kong dan Advanced Techniques in Gemology di Kofu, Jepang.

Lantas, bagaimana dengan seminar batu permata di Indonesia? Tanpa bermaksud menyombong, Letis mengaku bahwa ia dan ayahnya tak pernah absen. "Bagaimana mau absen, wong, yang mengadakan biasanya kami," kata gemolog, yang senang mengunjungi tambang safir atau berlian di Bangkok dan Cina ini.

Meski tak sering terlibat di laboratorium pengujian batu permata, dari cerita kakaknya, Letis mengetahui bahwa hampir setiap hari ada klien yang memeriksakan berlian dan batu permata, dan ternyata tertipu. Karena itu, ia menyarankan, sebelum membeli berlian dan batu permata mahal, sebaiknya memeriksakannya dulu ke laboratorium, untuk mengecek karat dan kejernihannya. Untuk melakukan pengecekan di AGL, biayanya mulai dari Rp125.000. "Harga pengecekan ini terbilang murah ketimbang Anda kehilangan uang pembelian berlian yang harganya bisa mencapai miliaran rupiah," sarannya.