Article - Internal
Leticia Paramita Mendalami Gemologi, Ilmu Tentang Batu Permata
Date : 23-06-2008

Banyak orang menggemari batu permata. Entah digunakan sebagai koleksi atau mempercantik diri. Batu permata memang identik dengan wanita karena keindahannya. Itulah yang mendorong Leticia Paramita mendalami ilmu tentang batu permata. Ilmu yang sangat jarang ditekuni orang. Bukan untuk mengoleksinya tapi membagi ilmunya agar masyarakat tidak mudah tertipu.

Jika wanita pada umumnya senang mengenakan perhiasan dari batu permata, Leticia justru berbeda. Ia hanya tertarik mempelajari dan membagi ilmunya bagi para pecinta batu permata. Profesi yang ditekuni Leticia terbilang langka yakni gemolog. Itu adalah sebutan bagi orang yang mendalami ilmu gemologi, yaitu cabang ilmu geologi yang mempelajari teknik identifikasi, klasifikasi serta penilaian kualitas batu permata.

Sebagai seorang chief trainer dan head of education di Institute Gemology Paramita, Leticia berusaha agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang ingin mempelajari batu permata. Caranya dengan membuka jadwal pelatihan yang beragam dan fleksibel. Pehobi menyanyi ini juga berusaha sebaik mungkin memastikan muridnya telah menyerap ilmu dengan baik. Karena menurutnya, mempelajari batu permata membutuhkan ketekunan dan ketelitian tinggi.

Semula tidak tertarik Pelajari Batu Permata

Letis, demikian ia disapa, dibesarkan kedua orang tuanya menjadi sosok mandiri. Tak heran bila ia dan ketiga saudarinya bebas menentukan bidang keilmuan yang ingin ditekuni. Sejak kecil ia terbiasa melihat sang ayah, Mahardi Paramita berkutat dengan batu permata. Sang ayah memang berasal dari keluarga yang bergelut dengan batu permata karena kakeknya dulu adalah penjual batu-batu permata.

Namun ayahnya memutuskan mengambil sisi yang berbeda. Tahun 1980-1981, beliau menuntut ilmu di Gemological Institute of America ( GIA ) America Serikat. Selanjutnya pada tahun 1983, ia membuka labolatorium khusus untuk menyertifikasi keaslian batu permata. Banyaknya pengunjung yang datang dan menaruh minat untuk mempelajari batu permata, membuatnya termotivasi untuk membuka Institute Gemology Paramita tahun 1989. Sebuah institut gemologi independen yang pertama di Indonesia.

Walaupun kehidupan sehari-harinya sangat dekat dengan batu permata, Letis tak pernah merasa tertarik. Ia pernah diperkenalkan dan mendapat penjelasan mengenai batu permata namun tetap tak menggugah minatnya. Hal ini tidak mengherankan karena ia memang tidak suka pelajaran seni rupa semasa sekolah. Ia lebih menyukai seni musik dan menyanyi. Demi memuaskan hasrat bermusiknya, ia mengikuti ektrakurikuler musik di sekolahnya dan paduan suara di gereja.


  Leticia mengajar

Leticia sedang mengajar kelas "Introduction Of Colorstone"

Menentukan Pilihan pada Batu Permata

  Leticia Paramita dan Mahardi Paramita bersama peserta kelas 'Diamond Grading'

Leticia Paramita dan Mahardi Paramita bersama peserta kelas "Diamond Grading"
Ketika akan lulus SMA, orang tuanya menanyakan kemana ia akan melanjutkan pendidikan. Mereka menawarkan untuk mengikuti pendidikan gemologi di Thailand. Namun Letis menolak. Ia memilih kuliah di Universitas Parahyangan jurusan Hubungan International dan lulus tahun 2000. Setelah lulus, penyuka warna biru ini sempat bekerja di bank swasta, hingga akhirnya ia pun mempertimbangkan kembali tawaran orang tuanya dulu. Profesi gemolog masih sangat langka di Indonesia, apalagi digeluti wanita muda. Inilah yang membuat letis berpikir bahwa dengan mempelajari batu permata akan tercipta berbagai kesempatan baik di depannya.

Tahun 2002 berangkatlah Letis ke Bangkok, Thailand untuk mengikuti pendidikan gemologi. Di sana, ia belajar gemologi selama 6 bulan di Gemological Institute of America ( GIA ). Banyak hal yang ia pelajari tentang batu permata seperti penilaian kualitas, identifikasi dan lain sebagainya.

Setelah selesai belajar di GIA, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Ia sempat bekerja di salah satu perusahaan batu permata. Namun karena tidak bersentuhan langsung dengan batu permata, lama-kelamaan Letis pun bosan dan memutuskan kembali ke Indonesia. Tujuannya adalah bergabung di institut gemologi milik ayahnya.

Namun setiba di Indonesia, ia masih bingung apa yang harus ia kerjakan di institut itu. "Dulu saat aku baru kembali ke Indonesia, aku belum tahu apa yang bisa kulakukan. Pokoknya masih bingung," ungkapnya mengenang masa lalu. Akhirnya ia pun mulai mengakrabkan diri lagi dengan batu-batu permata yang ada di labolatorium, ikut menyimak saat sang kakak, yang kini menjadi kepala labolatorium mengidentifikasi batu permata dan memerhatikan cara ayahnya mengajar di institut.

Lalu muncul ide darinya yang menunjang kurikulum institut. Letis mulai membuat program-program yang cocok untuk para peminat batu permata yang tidak memiliki waktu luang. Penyuka masakan Jepang dan Thailand ini berusaha mentransfer ilmu kepada murid-muridnya sebaik mungkin, meski dengan waktu yang terbatas. Apalagi dalam mempelajari batu permata dibutuhkan ketelitian dan ketekunan. "Mempelajari batu permata tidak semudah yang terlihat. Kita harus teliti agar dapat lebih mudah mengidentifikasi dan memberikan penilaian kualitas sebuah batu permata," ujar anak ketiga dari empat bersaudara ini.


Mensyukuri apa yang Dimiliki Sekarang

Jika menilik ke belakang, Letis tak menyangka akan menjalani hal yang serupa dengan ayah dan kakaknya, yakni berkarier di bidang batu permata. Ternyata ada benarnya juga pepatah yang mengatakan 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya.'

Kini setelah menekuni gemologi, Letis baru merasa jatuh cinta. Semua ini tak lepas dari peranan sang ayah yang selalu mengarahkan namun tanpa memaksakan kehendak. Tak heran jika ditanya siapa yang menjadi inspirasinya selama ini, ayahnyalah orangnya. "Papa yang menginspirasi aku. Walau sebenarnya ia ingin aku menjadi seperti dirinya, ia tak pernah memaksakan kehendak. Tapi dengan begitu ia justru berhasil mempertemukanku dengan bidang yang kini kugeluti dan cintai," tuturnya.

Sekarang Letis hanya fokus pada program-program yang telah dibuatnya untuk para murid. Ia tidak berharap dapat menjadikan institut ini sebesar GIA, tempat ia dahulu menimba ilmu. Yang penting menurutnya ia dan rekan-rekannya dapat konsisten pada kurikulum institut dan terus mengembangkan program yang compatible bagi murid-muridnya. Selain mengajar di Institutte Gemology Paramita, ia juga menjadi dosen tamu di sebuah universitas swasta dan narasumber talkshow di beberapa stasiun radio.

Tak Menghadapi Kendala Yang Berat

Secara umum murid-muridnya terbagi atas tiga golongan, kolektor, pedagang batu permata dan pegawai pegadaian. Tak sedikit pula muridnya adalah mereka yang awalnya hanya ingin memeriksakan keaslian batu permata yang mereka miliki. Saat mengetahui batu permatanya palsu, mereka lalu memutuskan mempelajari bidang ini agar tidak tertipu lagi. Memang kasus penipuan batu permata kerap terjadi. Hal itu ia yakini, karena tidak sedikit batu permata yang diperiksa oleh laboratorioum mereka ternyata palsu. Itu sebabnya bidang ini menjadi penting untuk dipelajari oleh orang-orang yang se-ring berhubungan dengan batu permata.

Di institut ini murid diajarkan mengenai ilmu batu permata secara ilmiah, bukannya mitos-mitos yang dianut sebagian masyarakat yang sifatnya non-ilmiah. Seorang gemolog seperti Leticia juga harus terus meningkatkan pengetahuannya akan batu permata, agar dapat memberi informasi pada muridnya. Hal ini sangat penting mengingat teknologi penipuan dan manipulasi batu permata pun semakin berkembang.


  Cosmopolitan Talkshow

Talkshow di Cosmopolitan FM

Dalam melakukan publikasi terhadap institut dan laboratorium yang didirikan ayahnya, Letis dan rekan-rekan sering mengadakan seminar, pembukaan stan pada acara tertentu. Dan rencananya dalam waktu dekat ini, sang ayah akan meluncurkan buku 'Kemilau Batu Permata'. Menurutnya masih sangat jarang buku mengenai batu permata yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

"Peluncuran buku ini adalah salah satu cara kami dalam melakukan publikasi sekaligus edukasi,"terangnya. Selain itu buku ini juga dibuat dengan tujuan agar bisa menjangkau para pecinta batu permata yang ada di luar daerah. Agar mereka mendapatkan informasi yang tepat tentang hobi mereka."Kami berusaha memberikan sumbangsih bagi masyarakat. Dengan adanya buku ini kami berharap hal itu dapat terwujud."

Didukung Suami

  Leticia mengajar

Saat mengajar kelas "Counter Sketching"
Tahun 2004 setelah kembali dari Thailand, Letis aktif lagi di gereja. Di sanalah ia bertemu jodohnya Eddy Karmana. la dan Eddy sama-sama aktif di pelayanan musik gereja. Mereka pun menjalin persahabatan hingga 3,5 tahun lamanya. Karena kedekatan dan seringnya bekerja sama dalam urusan gereja, mereka pun sepakat untuk berpacaran. Namun ia dan Eddy merasa tidak perlu berpacaran lama-lama karena sebelumnya mereka berteman baik dan sudah saling mengenal. Setahun setelah resmi pacaran, mereka pun menikah awal Desember 2007.

Tanpa harus menunggu lama, beberapa minggu setelah menikah Letis dinyatakan hamil."Aku dan suami sangat bersyukur menerima berkat secepat ini," katanya dengan mata berbinar. Kini usia kehamilannya memasuki bulan ke-5. Selama mengandung anak pertamanya ini, ia tak begitu mengalami kesulitan dalam menjalani aktivitas mengajarnya. Hanya saja di awal masa kehamilan, ia sering mengalami mual dan muntah."Awal-awal hamil, aku sering merasa mual dan ingin muntah, tapi aku bisa mengatasinya dengan segera ke kamar kecil. Bahkan beberapa muridku tidak menyadari kalau aku hamil," ceritanya.

  Leticia mengajar di UPH

Leticia saat mengajar di Unversitas Pelita Harapan

Sang suami tidak khawatir akan kehamilan Letis walaupun ia wanita yang tergolong aktif. Namun ia tak pernah lupa untuk mengingatkan Letis agar selalu berhati-hati, karena wanita yang sedang hamil sangat rentan. Meskipun Eddy tidak menggemari batu permata, tapi ia sangat mendukung profesi sang istri sebagai gemolog. Letis pun mengaku akan mencoba memperkenalkan batu permata pada anaknya kelak, namun ia tidak akan memaksanya bergelut di bidang yang sama. Yang pasti Letis terus ingin membagi ilmunya.